Oleh : Asyari Usman*
Kalau kriteria penilaian debat capres hanya dari sisi patriotisme, maka Pak Prabowo Subianto-lah orangnya. Beliau berapi-api. Antara lain beliau mengatakan, “Saya sudah siap mati untuk negara ini.”
Ini sangat patriotis. Tapi, apakah memang murni siap mati untuk negara? Tunggu dulu. Sebab, secara jujur Pak Prabowo menegaskan bahwa dia ingin berkuasa karena selama 20 tahun tanpa kekuasaan menyebabkan bisnis dia tak bisa jalan.
Pantas diapresiasi pengakuan yang tulus ini. Ternyata, Pak Prabowo bolak-balik ikut pilpres karena ingin sekali berkuasa untuk menyuburkan kepetingan bisnisnya. Jadi, “Saya siap mati untuk negara ini” artinya dia tak siap mati sebelum bisnisnya hidup kembali.
Maaf kepada para “die hard” Pak Prabowo. Indonesia tak butuh Bapak ini. Beliau 99% akan mendahului kepentingan diri sendiri dan oligarki bisnis. Dia bergabung ke Jokowi karena “desperate” alias kehilangan harapan untuk menjadi presiden. Prabowo berharap jalan menuju Istana akan terbuka dengan mengabdi di kabinet Jokowi.
Harus diakui, memang ada peluang Pak Prabowo. Setahun yang lalu, Jokowi membuat Prabowo berbunga-bunga. Ada janji setengah hati Jokowi bahwa “kali ini giliran Pak Prabowo”.
Anda masih ingat apa yang dilakukan Jokowi setelah mengucapkan janji itu? Pasti ingatlah. Dia tetap menunjukkan preferensinya kepada Ganjar Pranowo. Bukan kepada Prabowo. Meskipun Pak Menhan hari-hari memuja-muji Jokowi.
Pada saat Jokowi menggadang-gadang Ganjar, kubu PDIP malah membusukkan dia. Sampai Jokowi hilang harapan pada “rambut putih itu memikirkan rakyat”. Setelah itu, Ganjar dirangkul dan dielus-elus kembali oleh Bu Megawati. Kemudian Bu Ketum mendeklarasikan Ganjar sebagai capres PDIP.
Setelah itu Jokowi kembali intensif dengan Pak Prabowo. Dan menjadi sangat serius. Jokowi melakukan intervensi alias cawe-cawe. Sampai akhirnya Gibran Rakabuming dibukakan pintu oleh Paman Usman yang pegang kuasa di Mahkamah Keluarga (MK). Pasal batas usia 40 capres-cawapres dirombak. “Minimal berusia 40 dan pernah berpengalaman sebagai kepala daerah,” bunyi revisi pasal 169 UU No. 7/2017.
Prabowo dipaksa menerima Gibran sebagai cawapres. Kabarnya, Pak Prabowo tidak sepenuh hati. Tapi, apa daya. Tak bisa ditolak.
Belakangan, Prabowo malah senang bersama Gibran. Sebab, ayahanda sangat serius untuk menjadikan dia wapres. Dan para pengamat mengatakan, Jokowi tahu caranya. Dia sudah berpengalaman merebut kemenangan meskipun orang lain menderita.
Dari sebelumnya tak menerima Gibran, Prabowo sekarang menikmati langkah Jokowi menempatkan anaknya sebagai cawapres. Prabowo juga menikmati ocehan Gibran. “Tenang Pak Prabowo. Saya sudah ada di sini,” kata ponakan Paman bagaikan boss menenangkan anak buahnya.
Sekarang, bagaimana Anda memaknai suasana senang Prabowo bersama Gibran? Sudah pasti Pak Prabowo merasa ini kesempatan besar untuk menjadi presiden. Ada dukungan kuat dan all-out dari Jokowi.
Dalam bahasa seberang, “kesempatan” artinya “opportunity”. Dan orang yang mengambil kesempatan disebut “opportunist”. Nah, apakah itu berarti Pak Prabowo seorang “opportunist”? Sekali lagi, dalam arti “pengambil kesempatan”, ya memang disebut “opportunist”.
Yang tidak enaknya, “opportunist” itu bisa juga mencakup makna non-literal. Dalam konteks sosial-politik, “opportunist” adalah sifat atau karakter yang tercela. Seseorang disebut “opportunist” ketika dia melakukan langkah-langkah yang menguntungkan dirinya sendiri.
Orang sering juga menyebut “opportunist” dalam makna mencari kesempatan dalam kesempitan. Eksploitatif. Tidak ada cerita moral.
Nah, jika dikaitkan dengan putusan MK yang membuka jalan untuk Gibran ikut pilpres, maka “opportunist” sangat dekat dengan makna eksploitatif itu. Dari perspektif ini, Pak Prabowo bisa disebut “opportunist”. Kenapa? Karena MKMK memutuskan ada pelanggaran etik berat. Prabowo jalan terus.
Sekarang, sudikah Anda dipimpin oleh “opportunist” yang mengabaikan etik dan prinsip moral?
*Jurnalis Senior Freedom News