Oleh : Asyari Usman*
Tomy Winata (TW) menjadi perbincangan publik. Perusahaan miliknya, PT Makmur Elok Graha (MEG) dan investor China akan menguasai Pulau Rempang.
Tomy akan membangun Rempang Eco City (REC) dengan segala fasilitas mewah dan canggih. Sedangkan investor China akan membangun pabrik kaca terbesar kedua di dunia. Para pejabat tinggi, termasuk Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, membanggakan proyek raksasa ini.
Untuk melaksanakan proyek besar bernilai 300-an triliun ini, Tomy memerlukan setiap jengkal Pulau Rempang dikosongkan per 28 September ini. Tidak peduli ada keberatan dari penduduk Melayu.
Proyek TW ini didukung oleh para pemegang kekuasaan. Secara umum, para pejabat tinggi mengeluarkan ancaman keras kepada pihak-pihak yang menghambat inveatasi.
Dahsyat narasi para penguasa demi investasi. Mereka buktikan itu di Pulau Rempang. Warga Melayu yang melawan karena 16 kampung adatnya akan dilenyapkan, kini merasakan kekejaman itu.
Sekarang, siapa yang akan menang di Pulau Rempang? Kelihatannya para pemodallah yang akan berjaya. Mereka memiliki kekuatan untuk menggerakkan Mesin Penindasan. Mereka bisa menurunkan pasukan gabungan Polri, TNI, Satpol PP untuk menumpas aksi protes rakyat.
Mesin Penindasan itu tidak kenal siapa pun kecuali pemilik modal. Selain itu, semuanya musuh. Mereka hanya tunduk patuh pada perintah pemilik REC.
Karena itu, ketika terjadi bentrokan 7 September 2023, warga Melayu Rempang mengalami benjol-benjol, luka-luka, sesak napas kena gas air mata, atau ditangkap sambil dimaki-maki oleh para petugas yang menjalankan perintah untuk mengamankan para pemodal itu.
Warga Melayu Rempang bertekad akan mempertahankan kampung halaman mereka, mempertahankan kehidupan mereka. Tetapi, Mesin Penindasan juga bertekad mempertahankan eksistensi mereka sebagai pelindung Tomy Winata dan para pemodal lainnya.
Dua tekad ini akan berhadap-hadapan. Mesin Penindasan memiliki motivasi cuanisme sedangkan warga Melayu bermodalkan martabat bangsa dan semangat kemerdekaan.
Nah, mana yang lebih heroik? Mesin Penindasan atau martabat bangsa?
Jika disimak sejarah Indonesia, maka martabat bangsa selalu heroik. Inilah api yang tak pernah padam. Akan terus membara. Martabat bangsa sanggup menghancurkan Mesin Penindasan di era kolonialisme. Rakyat siap mati demi martabat, demi harga diri.
Sebaliknya, Mesin Penindasan yang dibangun oleh Polisi bersama aparat lain, biasanya kelihatan kuat ketika pundi-pundi mereka penuh. Kuat kalau mereka punya lambung yang menggelembung.