Oleh : Asyari Usman*
Hari ini, Partai Nasional Demokrat (NasDem) menggelar “Apel Siaga”. Mengambil tempat di stadion Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, apel ini tidak main-main. Bukan sekadar menunjukkan eksistensi blok politik Surya Paloh itu. Melainkan juga untuk memperlihatkan kepada publik bahwa NasDem tidak akan kecut menghadapi sikap “hostile” (bermusuhan) yang ditunjukkan oleh para penguasa yang tak menginginkan Anies Baswedan ikut pilpres atau menang pilpres.
Apel Siaga itu memang perlu digelar. Untuk menunjukkan bahwa dinamika politik di Indonesia ini tidak selalu mengikuti dikte dominasi kekuatan petahana yang selalu dipersepsikan “tak terlawan”. Bahwa petahana selalu bisa sekehendak hati.
Ini harus dihentikan. Lain hal kalau petahananya sungguh-sungguh disukai rakyat. Kenyataannya, petahana yang ada saat ini disukai hanya oleh kelompok oligarki bisnis yang selama ini bisa sewenang-wenang mengeruk keuntungan pribadi. Inilah petahana yang wajib dilawan.
Sekali lagi, aksioma bahwa petahana selalu tak terlawan, harus dihentikan. Anggapan dan fakta bahwa petahana bisa mengatur semua hal, tidak boleh berlanjut.
Risiko menantang dan menentang petahana memang besar. Sebab, petahana terbukti mampu mengendalikan semua lembaga negara dan instansi pemerintah agar berada di pihak mereka. Ini berlangsung sejak Jokowi duduk sebagai presiden. Petahana bisa menggunakan sejumlah instrumen kunci untuk melumpuhkan lawan politik.
Inilah yang sedang dirasakan oleh Paloh. Dia dijadikan sasaran gempur. Kekuatan bisnis dan kekuatan politiknya sedang dikepung.
Surya Paloh dan gerbong NasDem sendiri tahu persis sepak-terjang petahana selama ini. Mungkin sekali pengalaman Paloh selama berada di kubu Jokowi memicu tumbuhnya “guilty feeling” (rasa bersalah) di dalam diri beliau. Apalagi slogan Partai NasDem adalah “Restorasi” (Perbaikan).
Inilah saatnya restorasi itu dilaksanakan. Tetapi, restorasi di tengah kemapanan dan kenyamanan para penguasa, tidak akan mudah. Tantangannya sangat berat. Para pemegang kekuasaan sudah terlalu jauh menyalahgunakan kekuasaan yang diberikan kepada mereka.
Kekuasaan itu malah diarahkan untuk menzalimi rakyat. Berbading terbalik dengan perlakuan istimewa mereka terhadap oligarki bisnis yang merampok kekayaan rakyat. Para penguasa lebih fokus melayani para taipan kotor. Mereka akhirnya menjadi boneka oligarki taipan itu.
Surya Paloh dan NasDem akhirnya merasakan deraan para penguasa pelayan perkumpulan taipan kotor itu. Bisnis Paloh dicekik satu per satu. Cukup sadis.