Oleh : Asyari Usman*
Pimpinan PKB, termasuk Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, sangat elegan. Tidak terbawa cengeng menghadapi kekanak-kanakan KPK. Mereka, pimpinan PKB, tidak reaksioner. Tidak emosional.
Wakil Ketua Umum PKB Jazilul Fawaid menunjukkan porsi kenegarawanan. Dia tidak memanfaatkan pemeriksaan Cak Imin untuk menyerang KPK.
Jazilul berkali-kali menekankan di acara Dua Sisi TVOne (7/9) bahwa pemeriksaan Cak Imin oleh KPK murni penegakan hukum. Sebelumnya, Cak Imin sendiri pun mengatakan hal yang sama.
Dengan pernyataan ini, Jazilul memberi isyarat bahwa PKB tidak akan menyetir sentimen publik untuk menyudutkan KPK. Padahal, publik yang bernalar sehat akan melabel lembaga ini sebagai alat kekuasaan.
Ini tak dilakukan oleh Cak Imin. Dia menghormati KPK dan masih tetap positif melihat manuver lembaga antikorupsi itu. Meskipun banyak yang menilai KPK semakin mengerdilkan dirinya di bawah telunjuk Presiden Jokowi.
Dari sudut mana pun dipandang, KPK pantas disebut diperalat oleh pemegang kekuasaan. Siapa yang bisa mengatakan kepada publik bahwa pemeriksaan Cak Imin murni penegakan hukum? Hanya KPK dan pimpinan PKB.
Cantik sekali manuver Cak Imin dan Jazilul. Mereka berlepas diri dari murka publik terhadap KPK. Sehingga tidak ada yang bisa mengatakan pimpinan PKB menunggangi amarah publik untuk mengeruk simpati.
Dengan begini, pimpinan PKB secara halus mengajarkan kepada Jokowi dan pimpinan KPK tentang adab menjalankan kekuasaan. Agar Jokowi dan KPK tidak lagi arogan. Agar berhenti bersikap mentang-mentang berkuasa dan bisa melakukan apa saja.
Selama ini sudah berkali-kali elit politik diperiksa dan dijadikan tersangka oleh KPK. Namun, tidak pernah ada yang mengeluarkan pernyataan tegas bahwa langkah KPK murni penegakan hukum.
Dalam konteks pilpres 2024, seharusnya Jokowi memiliki rasa malu melihat manuver KPK memeriksa Cak Imin. Apalagi manuver ini dilakukan hanya beberapa hari setelah Cak Imin mendeklarasikan diri sebagai bacawapres Anies Baswedan.
Jokowi pantas malu karena publik akan menilai dia hanya bisa menghadapi lawan politiknya dengan memperalat kekuasaan. Bukan dengan mempergunakan pikirannya.
Apakah tidak risih kalau ada yang berkomentar bahwa Jokowi tidak mampu menghadapi lawan dengan cara-cara intelek? Apakah tidak malu kalau publik mengatakan Jokowi mengalami kekosongan intelektualitas?
*Jurnalis Senior Freedom News