Oleh : Asyari Usman*
Beberapa hari lalu, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono melakukan mutasi besar di jajaran Angkatan Darat. Sebagian mutasi biasa, tetapi ada diantaranya “mutasi politis”.
Mayor Jenderal Kunto Arief Wibowo, digeser. Dari posisi bergengsi sebagai Pangdam Siliwangi di Bandung menjadi Wakil Komandan Komando Pembina Doktrin, Pendidikan, dan Latihan Angkatan Darat (Wadankodiklatad). Kebetulan bermarkas di Bandung juga.
Pemindahan Jenderal Kunto inilah yang saya maksud dengan “mutasi politis”. Mengapa? Sebagian Anda mungkin paham sebabnya. Tapi, tidak salah untuk diingatkan kembali tulisan beliau yang dimuat di Kompas pada 10 April 2023, yang sangat berani terkait situasi politik belakangan ini. Khususnya mengenai pilpres 2024.
Inti dari tulisan Kunto Arief adalah kemungkinan pencurangan pemilu, termasuk pilpres 2024. Singkatnya, Kunto memberikan isyarat bahwa TNI akan maju ke depan jika pemilu dan pilpres curang.
Tulisan Jenderal Kunto itu mendapat respon beragam. Sebagian orang menganggap Kunto menyalahi etika tentang netralitas TNI dalam hal politik. Namun, banyak sekali yang setuju dan memuji keberanian jenderal berbintang dua itu.
Hari ini, kita tidak lagi membicarakan pro-kontra tulisan mantan Pangdam Siliwangi itu. Yang perlu dicermati dari mutasi politis Jenderal Kunto Arief itu adalah tindakan “pencopotan” beliau dari posisi panglima Kodam.
Seperti banyak digunakan media massa, saya setuju dengan diksi “pencopotan” untuk menggambarkan mutasi politis ini. Sebab, mutasi itu sangat terasa sebagai “hukuman” untuk tulisan Kunto. Putra Jenderal (Purn) Try Sutrisno –mantan Wapres– itu bisa dikatakan dipindahkan dari shaf (baris) depan TNI ke shaf belakang.
Intinya, Mayjen Kunto sekarang mengurusi kurikulum diklat TNI. Dia tidak lagi bertaji. Dan, ini yang esensial, Jenderal Kunto tidak lagi punya legitimasi untuk menyuarakan keprihatinan pimpinan TNI berkenaan dengan arah politik Presiden Jokowi. Beda dengan posisi Pangdam.
Selanjutnya, kita akan mencermati apakah pencopotan atau hukuman terhadap Kunto Arief hanya sebatas tindakan Panglima TNI saja? Secara normatif, iya. Tetapi, mutasi politis ini sangat patut diduga sebagai perintah dari “Operation Room” di Istana. Kalau pun itu dikatakan hanya tindakan Panglima TNI, maka tindakan ini menunjukkan bahwa Laksamana Yudo paham betul apa yang diinginkan oleh atasan.
Tetapi, mengingat hiruk-pikuk yang disebabkan tulisan Mayjen Kunto di Kompas itu, sangatlah wajar kalau Panglima TNI mendapat perintah, atau minimal arahan, agar Kunto “dibuang”. Demosi Kunto ke Kodiklatad membuka penafsiran logis bahwa dia memang dibuang.