Dengan kesadaran nasionalisme Mega, tidak ada lagi tempat bagi oligarkisme yang didalangi oleh Luhut. Begitu teorinya. Kita lihat saja bagaikan implementasinya.
Diperkirakan, Bu Mega akan kembali ke khittah PDIP sebagai kekuatan prorakyat, prokeadilan. Mengapa? Karena Bu Mega sadar bahwa masa baktinya untuk rakyat tidak panjang lagi. Petualangannya dengan kemewahan dan duit sudah cukup. Sama seperti perasaan Surya Paloh yang bertekad kuat untuk menjadikan Anies Baswedan presiden Indonesia.
Ada yang berpendapat, pencapresan Ganjar oleh Bu Mega menunjukkan Bu Ketum tunduk pada tekanan Jokowi. Keliru total. Mega malah memperlihatkan kelihaiannya. Selama ini beliau tidak memberikan ruang kepada Ganjar. Gubernur Jawa Tengah ini dikucilkan. Sampai akhirnya Jokowi kehilangan harapan untuk memajukan Ganjar. Dia tak laku dijual ke sejumlah partai lain. Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang beranggotakan Golkar, PAN, PPP yang dibentuk untuk Ganjar, tidak solid. Para pemimpin ketiga partai ini hanya takut masuk penjara kalau tidak ikut. Padahal, KIB tidak serius.
Kombinasi antara Ganjar “dibuang” Bu Mega dan KIB yang pura-pura, akhirnya mendorong Jokowi mendekati Prabowo Subianto. Ketum Gerindra ini dielus-elus oleh Jokowi. Aura Jokowi dikatakan mulai pindah ke diri Prabowo. Pemegang rekor capres-cawapres gagal ini digadang-gadang untuk menggantikan Ganjar yang semakin redup. Hanya angka-angka “soor-pay” yang masih berpihak ke Ganjar. Dari redup, dia kemudian padam.
Di sinilah kehebatan Bu Mega. Setelah Ganjar ditinggal Jokowi, yang merasa makin mantap dengan Prabowo, Bu Ketum pun merangkul kembali Ganjar dan mencapreskannya. Langkah Bu Mega ini sekaligus mengirimkan pesan kepada Prabowo bahwa Bu Ketum tidak akan pernah rela melihat mantan Danjen Kopassus itu menjadi presiden.
Jadi, lebih kurang hari ini kita menyaksikan Bu Mega menampar Jokowi, Luhut dan Prabowo sekaligus. Drama ini akan makin seru.
*Wartawan Senior Freedom News