Yang saya tak duga, Burhan Magenda juga banyak mengikuti dunia sastra. Ia menyenangi apa yang juga saya senangi: novel historical fiction.
“Mas Denny kapan membaca novel Doctor Zhivago?,” tanya Burhan.
“Saya lebih dahulu menonton filmya, pak. Saya sangat tersentuh dengan kisah cinta rahasia dokter Yuri dengan Lara. Omar Sharif dan Julie Christie bagus memerankannya.”
“Saya terpana dengan suaminya Lara. Ia menyatakan: kehidupan pribadi sudah mati. Sejarah yang membunuhnya. Kini hanya ada perjuangan kelas.”
Baru ketika sekolah di Amerika Serikat, saya membaca novel aslinya. Tapi itu pun tak habis.”
Burhan Magenda tertawa. Ia pun bercerita kisah keterlibatan CIA membantu Pasternak menang nobel sastra.
-000-
Ketika kami berjumpa, Burhan mengeluh. Ia tak lagi seproduktif dulu. Usia menua. Semakin tak ada peluang riset yang serius, dengan dana yang cukup.
Dalam dunia akademik, Burhan Magenda dikenal ahli soal politik lokal. Ia membuat riset soal Ethnic and Social Class in Indonesian Local Politics. Ini studi kasus Kalimantan Timur.
Disertasinya di Cornell University juga soal politik lokal: The Aristrocacy in Provincial Politics in Indonesia: A Study of Three Outer Islands.
“Mas Denny pernah juga riset soal konflik etnis ya?,”
“Ya, pak.” Saya pun bercerita riset di tahun 2012. Yayasan Denny JA melakukan riset kekerasan akibat diskriminasi, di Indonesia pasca reformasi, tahun 1998.
“Agar terukur dan dapat dibandingkan satu kasus dengan kasus lain, saya membuatkan indeks kuantitatifnya.”
Saya bercerita panjang lebar. Indeks kekerasan disusun berdasarkan 5 variabel: jumlah korban yang mati, lamanya konflik, luasnya konflik, kerugian materi, dan luasnya pemberitaan media
Lima kasus kekerasan politik identitas terburuk di Indonesia saya data, pasca reformasi 1998. Yang paling keras adalah konflik agama Islam dan kristen di Maluku tahun 1999
Juga konflik etnis di Sampit, kalimantan, tahun 2001, antara suku pendatang Madura dan penduduk asli suku dayak
Kekerasan rasial di Jakarta tahun 1998, yang menimpa etnis Tionghoa ikut dimasukkan ke dalam list. Juga kekerasan atas paham agama: Ahmadiyah di Mataram, tahun 2006.
Konflik etnis di Lampung Selatan tahun 2012, antara suku pendatang: Bali dan penduduk asli Lampung juga dijadikan kajian.
“Saya setuju,” ujar pak Burhan. “Maluku memang paling parah.
“Isu kesetaraan warga negara di banyak daerah belum selesai,” sambung Burhan.
“Saya juga pernah riset mengenai Syndrom Putra Daerah.” Ujar Burhan: “Sejak era otonomi daerah, putra daerah terlalu dipentingkan. Tak jarang jenjang meritokrasi dan profesionalisme dikurbankan demi keutamaan putra daerah.”