Jakarta, EN – Lembaga Kejaksaan belakangan bersinar ditengah carut marut penegakkan hukum di negeri ini.
Korps Adhyaksa kini menjelma menjadi institusi yang benar-benar mereformasi diri mewujudkan kebenaran dan keadilan sesungguhnya.
Harum namanya terukir dari prestasi dan gebrakan gemilang sang Jaksa Agung. Siapa lagi kalau bukan figur Prof. Dr. Sanitiar Burhanuddin.
Burhanuddin seakan menjadi pelita ditengah gemerlapnya dunia hukum saat ini.
Jaksa Agung muncul sebagai bintang yang memantik sorotan publik. Kepiwaian dan keberaniannya mengungkap mega korupsi layak mendapat apresiasi, belum lagi pemikiran briliannya tentang restoratif justice atau keadilan restoratif. Disinilah sesungguhnya rakyat jelata betul-betul diperhatikan, tidak dilindas rasa keadilannya dan kebenaran hakiki ditegakkan.
Keberanian membongkar kasus-kasus korupsi besar membuat para maling uang rakyat ketar-ketir walaupun harus menanggung konsekuensi besar yaitu mendapat serangan balik, namun tokoh Jawa Barat itu tidak sedikitpun bergeming.
Kepemimpinannya teruji, kinerja Kejaksaan Agung semakin kuat dan ditakuti koruptor. Kasus korupsi skala besar dan rumit berhasil dibongkar dan pelakunya diseret ke pengadilan, dan harta mereka disita untuk memulihkan kerugian negara.
Tidak sedikit uang negara yang berhasil diselamatkan nominalnya fantastis. Sebut saja dari kasus Danareksa Sekuritas Rp. 105 miliar, kasus impor tekstil Rp 1,6 triliun, kasus Asuransi Jiwasraya Rp 16 triliun, dan dari kasus Asabri Rp. 22,7 triliun.
Para koruptur dan kolaboratornya dibuat panas dingin atas pernyataan tegasnya. Profesor hukum pidana ini menegaskan tidak pandang bulu menjerat siapapun yang melindungi koruptor. Ancaman ini benar-benar diuktikan pada mega korupsi Jiwasraya dan Asabri.
Terakhir, dia menyeret anggota DPR RI Alex Noerdin, yang juga mantan Gubernur Sumatera Selatan, sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi di Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi (PDPDE) Sumsel.
ST. Burhanuddin, sosok pendekar hukum nan gagah berani dan tegas. Namun setegas apapun itu, Burhanuddin hanyalah insan biasa, dia manusia yang memiliki naluri tajam dan kepekaan yang tinggi.
Ditengah terjangannya dan menghunus pedang memberangus para koruptor, Burhanuddin menangis, dia merasa sedih ketika ada rakyat jelata yang dihukum layaknya kriminal seperti kasus yang menimpa Nenek Minah dan Kakek Samirin. Dia menilai kedua orang tua miskin ini telah mendapat perlakuan hukum tidak pantas dan tidak seyogyanya diteruskan ke pengadilan.
Nenek Minah yang dimaksud Jaksa Agung adalah seorang nenek di Dusun Sidoarjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah. Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto menjatuhkan hukuman 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan kepada Nenek Minah karena mengambil tiga biji kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA).
Adapun Samirin, kakek 68 tahun asal Simalungun, Sumatera Utara, dihukum 2 bulan penjara karena memungut getah karet seharga Rp 17.000.
Sejatinya, kata Burhanuddin, Jaksa selaku pemilik asas dominus litis, adalah pengendali perkara yang menentukan dapat atau tidaknya suatu perkara dilimpahkan ke pengadilan.
Menurutnya, penghentian perkara berdasarkan keadilan restoratif adalah suatu bentuk diskresi untuk menyeimbangkan antara aturan yang berlaku dengan tujuan hukum yang ingin dicapai.
“Saya ingin Kejaksaan dikenal melekat di mata masyarakat sebagai institusi yang mengedepankan hati nurani dan penegak keadilan restoratif. Kejaksaan harus mampu menegakkan hukum yang memiliki nilai kemanfaatan bagi masyarakat,” ucapnya, sambil menekankan Korps Adyaksa tidak membutuhkan jaksa yang pintar tetapi tidak bermoral.
Sebagai acuan restorative justice, Jaksa Agung telah menerbitkan Peraturan Kejaksaan (Perja) Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, yang diundangkan pada 22 Juli 2020.
Sejak Perja ini diterbitkan, Kejaksaan Agung telah menghentikan 302 perkara. Rinciannya, 222 perkara pada 2020 dan 80 perkara pada Januari-Agustus 2021 yang terdiri dari 73 perkara orang dan harta benda serta 7 perkara terkait keamanan negara dan ketertiban umum serta tindak pidana umum lain.
Ada beberapa syarat penerapan Perja 15/2020, antara lain tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 tahun, serta barang bukti atau nilai kerugian perkara tidak lebih dari Rp 2,5 juta.
Gagasan Jaksa Agung mengenai keadilan restoratif melalui pendekatan hati nurani itu menjadi perbincangan di kalangan akademisi dan pakar hukum pidana.
Gagasan tersebut tidak hanya dinilai revolusioner karena bisa mereformasi sistem peradilan pidana di Tanah Air yang masih terjebak pada pendekatan retroactive/retributive/penjara, tetapi juga dianggap lebih manusiawi dan Pancasilais.
Pendekatan keadilan restoratif mampu memecahkan kebuntuan atau kekosongan hukum materil dan hukum formil yang saat ini masih mengedepankan aspek kepastian hukum dan legalitas-formal, daripada keadilan hukum yang lebih substansial bagi masyarakat.
Sebagai apresiasi atas gagasan cemerlang itu serta kontribusinya di dunia hukum dan perguruan tinggi, Burhanuddin dianugerahkan gelar Guru Besar atau Profesor Kehormatan oleh Universitas Jenderal Soedirman.
Tidak hanya itu, pendekatan keadilan restoratif dapat meminimalisir over capacity penjara yang menjadi momok bagi Lapas di Indonesia. Oleh karena itu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly mengatakan prinsip keadilan restoratif ini akan diserap ke dalam revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (PAS).
“Dalam KUHP kita ada prinsip restoratif, nanti KUHP yang baru akan ada restorative justice. Tentu Undang-Undang PAS harus menyesuaikan,” ungkap Yasonna, Selasa (21/9).
Sebelumnya, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI bersama pemerintah telah menyepakati tiga RUU usulan pemerintah masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) Prioritas 2021, yakni RUU PAS, RKUHP, serta RUU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Semua gebrakan Jaksa Agung itu mungkin dianggap kontroversial oleh para koruptor. Namun harapan Burhanuddin sederhana. “Saya hanya ingin menorehkan prestasi terbaik untuk bangsa,” ujarnya.