Oleh : Asyari Usman*
Nasi sudah menjadi bubur, kata pepatah. Buburnya pun kena tahi ayam. Kalimat kedua ini cuma tambahan saja. Untuk menggambarkan betapa malangnya nasib rakyat di bawah kekuasaan Joko.
Dalam bahasa yang berbeda-beda, semua pendukung Joko mengaku salah pilih. Mereka menyesal. Tetapi sesalan itu sudah sangat terlambat.
Semua telah menjadi bubur. Celakanya, bubur tak bisa dimakan sama sekali. Ada tumpukan kotoran ayam di situ. Tidak ada yang bisa dikais-kais untuk dihidangkan.
Sekarang, para pendukung Joko yang berikrar “nyawaku untukmu”, ramai-ramai tersentak. Sambil marah-marah. Sekaligus sangat sedih telah mendukung Joko.
Ada yang mencucurkan air mata di depan publik. Tapi, tentunya, tangisan itu tiada berguna. Joko sudah berubah total. Dia kini sudah menjadi Macan yang sempurna. Kuku, taring dan tenaganya sedang prima.
Anak macan yang dulu dielus-elus, kini menerkam apa saja yang ada di sekitarnya. Dia tidak lagi kenal orang-orang yang membesarkannya.
Sang Macan menguasai seluruh kampung tempat dia diasuh oleh para pemujanya. Dia menjadi raja belukar yang sekarang ditakuti semua orang.
Para pemuja Joko kewalahan. Macan yang telah sempurna itu tidak mau lagi mendengarkan arahan tuannya. Tuannya berteriak-teriak agar Macan berhenti mengobrak-abrik sudut-sudut kampung. Tapi, Sang Macan yang dulu selalu menyenangkan itu, tak menghiraukannya.
Ketika masih kecil, si anak Macan tidak pernah membantah. Kenapa setelah besar dia melawan?
Para ahli mengatakan Macan dewasa sama seperti makhluk-makhluk nyata (bukan ghaib) lainnya. Dia perlu tempat pelampiasan berbagai nafsunya.
Dia perlu melatih dan menjaga keturunannya agar bisa menjadi macan-macan sempurna juga. Dia perlu mengumpulkan makanan sebanyak mungkin untuk anak-anaknya, kelak.
Dia perlu mendidik anak-anaknya supaya tangkas mencari dan menangkap mangsanya sendiri. Dia perlu menunjukkan kepada anak-anaknya tentang cara menyimpan hasil tangkapan agar tidak terdeteksi oleh macan-macan lain.
Puncaknya, si Macan Ayah secara naluriah mengajarkan kepada para Macan Anak tentang perlunya mendirikan dinasti. Agar kampung yang dikuasai dan diacak-acak oleh si Macan Ayah hari ini, bisa tetap berada di tangan mereka.
Jadi, inilah yang mungkin tidak dipahami oleh si Tuan yang sekaligus Pawang si Macan Ayah. Dia bukan lagi anak macan yang selama ini lucu, culun, dan belum berkuku bertaring.
Dia bukan lagi boneka hidup yang tempohari bisa dikuis-kuiskan dengan ujung kaki. Bukan lagi macan kecil yang kenyang dengan satu-dua ekor kelinci.