Oleh : Asyari Usman*
Pidato kenegaraan 16 Agustus kemarin digunakan Presiden Jokowi untuk menyampaikan keluhan. Keluhan tentang julukan “Pak Lurah” dan perihal hilangnya kesantunan.
Baguslah kalau Jokowi menyadari itu. Tapi, yang lebih penting dari sekadar menyadari julukan-julukan untuk dirinya dan menipisnya kesantunan adalah apa penyebab itu terjadi? Mengapa publik memberikan begitu banyak julukan yang sebagian tak sedap di dengar? Dan mengapa banyak orang meninggalkan kesantunan?
Julukan “Pak Lurah” untuk Presiden Jokowi boleh dikatakan masih enak. Maaf ya Pak Jokowi, saya mau sebutkan di sini julukan-julukan lain yang banyak ditulis di media sosial. Antara lain julukan itu adalah “Jainuddin Ngaciro”. Lalu ada pula julukan pendek “Jae”, ada “Juki”, dan ada “Jokodok”. Kemudian ada “Mukidi”, ada “Wiwi”, ada pula julukan “Tukang Mebel”. Ada yang menyebut “Sarimin”, dsb.
Nah, mengapa hanya di masa Anda ini saja seorang presiden diberi julukan yang kadang lucu tapi sebagian tak enak didengar? Mengapa presiden-presiden sebelumnya tak pernah diberi julukan oleh publik?
Tentu ini perlu dijawab blak-blakan. Jawaban bisa macam-macam dan subjektif. Tapi ada satu kesamaan, bahwa julukan-julukan itu menunjukkan publik, sebagian besar, memang tidak respek kepada Anda.
Mengapa begitu banyak yang tidak respek? Menurut dugaan saya pribadi, ini disebabkan oleh ketidakmampuan Anda memenuhi ekspektasi intelektualitas yang diharapkan publik. Orang merasa Anda tak pantas menjadi presiden –khusunya di periode kedua ini. Banyak orang yang yakin Anda menjadi presiden di periode kedua ini karena kecurangan pilpres 2019.
Setelah protes bedarah terhadap kecurangan itu, publik akhirnya diam. Tetapi, Anda malah semakin ngawur. Korupsi merajalela. Ada korupsi 349 triliun Kementerian Keuangan. Ada korupsi impor emas batangan 189 triliun. Ada 93 triliun korupsi di berbagai BUMN asuransi.
Upaya pemberantasan korupsi bukan diperkuat. Anda malah melemahkan KPK. Dan kasus-kasus korupsi digunakan untuk pemerasan politik.
Sekarang, Anda tidak memihak rakyat. Sebaliknya Anda mempermudah pengurasan SDA melalui operasi tambang legal yang penuh permainan dan tambang ilegal yang penuh dengan bandit-bandit.
Anda bikin berbagai proyek instrastruktur berbiaya mahal yang belum diperlukan rakyat. Misalnya, kereta cepat Jakarta-Bandung dengan pembengkakan biaya dalam jumlah besar, yang kemudian Anda bebankan ke APBN. Lain lagi beberapa bandara mahal yang tidak berfungsi.
Anda paksakan pembangunan jalan tol yang sebagian belum mendesak keperluannya. Di pihak lain, Anda tak peduli dengan seluruh jalan rakyat, yaitu jalan nasional, jalan provinsi, dan jalan kabupaten, yang kini rata-rata rusak berat. Padahal, sebagian besar rakyat menggunakan jalan yang hancur-lebur itu.