Oleh : Asyari Usman*
Awalnya memang menyenangkan. Presiden Jokowi melakukan efisiensi birokrasi. Memangkas peraturan yang melambatkan pekerjaan. Semua orang tepuk tangan.
Dia batalkan sekian banyak perda provinsi dan perda kabupaten-kota. Terutama perda-perda yang dinilai menghambat investasi. Atau yang membuat ekonomi biaya tinggi.
Jokowi berjanji akan menegakkan keadilan. Dia bersumpah akan memperkuat KPK. Memberantas korupsi tak pandang bulu. Mengutamakan kepemilikan lahan untuk rakyat kecil, dan seterusnya.
Tapi, apa yang terjadi? Jokowi yang semula bertekad menegakkan hukum dan menjalankan peraturan dengan tegas, bergeser jauh ketika kekuasaanya memasuki tahun kedua-ketiga.
Mulailah berlaku hukum tebang-pilih. Lihat-lihat siapa yang melanggar aturan. Kalau konglomerat dan orang-orang kuat, tidak masalah. Proyek reklamasi Teluk Jakarta melanggar berbagai peraturan, dibiarkan tanpa koreksi. Karena milik para taipan.
Begitu kepresidenan pertamanya mau berakhir, Jokowi ingin periode kedua. Di titik inilah Jokowi mencoba tindakan sesuka hati. Dia memulai petualangan hukum rimba. Siapa yang kuat, dia yang berkuasa.
Dia bisa dapat periode kedua dengan segala macam kontroversi. Banyak yang percaya bahwa Jokowi merampas kemenangan lawannya di pilpres 2019. KPU diduga kuat melakukan kecurangan. Kubu yang kalah membawa ke MK. Jokowi menang. Banyak yang percaya ini tulen praktik hukum rimba.
Ada pula jejak penyalahgunaan Polri agar memihak Jokowi di pilpres 2019. Polisi menjadi timses Jokowi. Bukan rahasia lagi. Seorang Kapolsek di Garut, Jawa Barat, buka suara tentang instruksi untuk memenangkan Jokowi.
Memulai periode kedua, Jokowi merasa semakin enak di kursi presiden. Hukum bisa dikendalikan sesuai keinginan. Tidak ada yang berani menentang. Semua pejabat senior membebek.
Jokowi memaksakan pembentukan Omnibus Law (OBL) Cipta Kerja. OBL dinyatakan melanggar konstitusi. Kalangan buruh memprotes. Karena OBL memihak pemodal, menindas pekerja. Hukum rimba semakin menancap. Bersamaan dengan itu, Jokowi mengebiri KPK. Lembaga antikorupsi ini pun menjadi tebang pilih.
Dalam spektrum yang lebih luas, penegakan hukum dan keadilan semakin parah. Pembunuhan sewenang-wenang yang dilakukan aparat Kepolisian terhadap enam anak muda di KM-50, dipaksa menjalani proses hukum rimba. Pembunuhan ini diyakini terkait dengan penguasa level tinggi.
Dalam proses KM-50, hukum rimba sangat mencolok. Semua lembaga negara bekerja sama rapi mengikuti panduan penerapan hukum rimba. Keseluruhan proses di semua tahap terkesan dijalankan sesuka hati penguasa.