Dalam PKPU Nomor 1 Tahun 2020, Pasal 1 angka 21 menyebutkan bahwa :
”mantan terpidana adalah orang yang sudah selesai menjalani pidana, dan tidak ada hubungan secara teknis (pidana) dan administrative dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia” (norma baru yang tidak ada dalam peraturan dasarnya)
Pasal 4 ayat (2a) menyebutkan bahwa :
“Syarat tidak pernah sebagai terpidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat 1 huruf f dikecualikan bagi mantan terpidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih yang telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.”
Pasal 4 ayat (2e) menyebutkan bahwa :
Jangka waktu 5 (lima) tahun telah selesai menjalani pidana penjara sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) terhitung sejak tanggal bakal calon yang bersangkutan telah selesai menjalani pidananya sampai dengan pada saat pendaftarannya sebagai bakal calon“.
Berdasarkan penjelasan di atas KPU mendasarkan dalil selesai menjalani hukuman itu bukan pada pembebasan bersyarat melainkan tanggal bebas akhir yaitu tanggal 28 Maret 2016, sehingga berdasarkan ketentuan norma di atas, pemohon dianggap belum memenuhi syarat untuk mencalonkan diri sebagai bakal calon Bupati dan Wakil Bupati
Pertanyaannya, mana yang lebih kuat kedudukannya Fatwa MA atau PKPU dan/atau Surat Edaran KPU ? Menurut hemat saya keduanya tidak seyogyanya diperhadapkan satu sama lain karena domeinnya juga berbeda. Jika menyoal kedudukan fatwa MA, kendatipun bukan Putusan hakim (Vonis) yang mengikat secara hukum kepada para pihak yang berperkara; namun kekuatan mengikat fatwa MA bersifat etik. Sebagaimana kita tahu, bahwa hukum atau peraturan itu baru bermakna jika dapat dikembalikan kepada prinsip atau asasnya yang sarat dengan muatan etik didalamnya. Fatwa MA berfungsi untuk memberikan solusi atas masalah hukum yang urgen yang diajukan oleh oleh siapa pun, dalam hal ini termasuk oleh Bawaslu RI dalam penyelesaian perselisihan pemilu. Fakta hukumnya bahwa fatwa MA itu muncul atas permintaan dari bawaslu RI sendiri. Dengan demikian, fatwa MA mengikat secara etis dan seyogyanya dijalankan dan dipatuhi oleh Bawaslu RI berikut jajarannya sampai ke daerah.
Sedangkan PKPU dan/atau Surat Edaran KPU adalah dasar hukum dan pedoman bagi KPU dalam penyelenggaraan pemilu pada setiap level jajaran KPU mulai dari Pusat sampai daerah. Beberapa catatan terkait dengan rumusan norma yang dijadikan dasar oleh KPU di atas, Pertama, KPU tidak seharusnya membuat norma baru dan/atau membuat penafsiran hukum untuk melakukan pembatasan terhadap hak asasi seseorang untuk memilih dan dipilih. Kedua, Kewenangan membuat aturan larangan mantan narapidana koruptor ikut Pilkada 2020 ada di tangan DPR, bukan KPU. Pembatasan hak warga negara menjadi kewenangan pembentuk Undang Undang. Sedangkan tugas KPU wajib menjaga administrasi penyelenggaraan pemilu/pilkada saja, bukan membuat politik penyelenggaraan pemilu, karena itu wilayahnya DPR. Singkatnya, janganlah hak seseorang yang dijamin dengan undang-undang itu dirampas oleh peraturan KPU dan/atau Surat Edaran KPU, biarlah rakyat sendiri yang memutuskan apakah seorang mantan narapidana pantas untuk tampil memimpin Daerah ini.