Oleh : Djoeyamto Hadi Sasmito, S.H., M.H*
Kembali saya akan tulis soal kedahsyatan local wisdom atau kearifan lokal sebagai sebuah strategi atau metode dalam mengelola organisasi sebagaimana yang pernah saya aplikasikan ketika memimpin sebuah satuan kerja di Pengadilan Negeri Dompu, Nusa Tenggara Barat.
Sebagai Ketua Pengadilan Negeri tentu saya diberikan kewenangan (kekuasaan) yang melekat pada jabatan tersebut, sehingga dengan kewenangan (kekuasaan) itulah yang menjadi dasar saya untuk melakukan tugas pokok dan fungsi sebagai pimpinan. Namun, dalam prakteknya, saya tidak merasa cukup hanya mengandalkan pendekatan kewenangan (struktural aproach) saja dalam mengelola organisasi dengan segala dinamikanya.
Pendekatan atasan bawahan secara hierarkhi struktural menurut saya hanya akan menghasilkan suasana kerja yang kaku dan seperti mesin. Mentalitas yang terbangun hanyalah mentalitas bekerja karena sekedar menjalankan perintah dan kewajiban. Dengan iklim kerja seperti ini akan sulit muncul kreativitas maupun inovasi, yang dipentingkan hanyalah bagaimana sekedar menggugurkan kewajiban.
Karena itulah saya berusaha juga menerapkan dua pendekatan lain yaitu pendekatan budaya (cultural aproach) dan pendekatan personal (personal aproach) di mana dua pendekatan tersebut bersumber dari pemahaman bahwa semua sumber daya manusia pengadilan pada dasarnya haruslah diperlakukan sebagaimana layaknya manusia yang harus dihormati dan diperlakukan sebagai partners kerja yang perannya sangat penting. Selanjutnya pemahaman sebagaimana dimaksud diikuti dengan upaya mengajak dengan menggunakan dua pendekatan tadi secara konsisten.
Salah satu pendekatan budaya yang saya pakai adalah mengangkat dan menjadikan falsafah lokal yaitu Nggahi Rawi Pahu sebagai motto Pengadilan Negeri Dompu yang artinya kurang lebih adalah “Melakukan apa yang dikatakan dan mengatakan apa yang dilakukan”. Dengan motto tersebut saya berusaha mengajak seluruh aparatur Pengadilan Negeri Dompu untuk melakukan perubahan mindset yang dimulai dari diri sendiri.
Dalam jabaran selanjutnya, motto tersebut diaplikasikan dalam konsep managemen pelayanan empati yaitu managemen yang bersumberkan pada kesadaran bahwa jika ingin dilayani dengan baik, maka aparatur pengadilan harus terlebih dahulu memberikan pelayanan yang baik, sebab pada dasarnya semua warga termasuk aparatur pengadilan tidak ingin dilayani dengan tidak baik ketika sedang mengalami sebuah urusan.
Lalu bagaimana hasil dari penggunaan pendekatan budaya dari pemakaian motto Nggahi Rawi Pahu tersebut ? Ternyata dalam pemahaman saya, hampir seluruh aparatur pengadilan yang mayoritas adalah putra daerah Dompu merasa seperti tersentuh kesadaran dirinya untuk memahami bahwa bekerja sebaik-baiknya dalam melayani publik adalah bentuk dari sebuah rasa empati bukan sekedar menjalankan perintah atau kewajiban dari pimpinan atau lembaga. Mereka pun bekerja dengan gembira, tidak di bawah tekanan kewajiban maupun perintah belaka.