Kerajaan Tambora bahkan berdagang langsung dengan Kerajaan Makassar. Hubungan kedua kerajaan itu dibuktikan oleh surat-menyurat.
Selain kaya sumber daya alam, wilayah Tambora juga strategis. Peta tahun 1659 koleksi KITLV menunjukkan wilayah raja (koningrijk) Tambora berada di bagian utara, wilayah yang lebih besar, di Semenanjung Sanggar. Sementara itu, bagian selatan Semenanjung Sanggar merupakan wilayah raja (koningrijk) Pekat.
Lokasi Tambora berdekatan dengan Labuhan Kenanga dan Teluk Saleh. Karenanya ia termasuk jalur lintas perdagangan yang ramai disinggahi kapal asing.
“Karena ramainya jalur pelayaran di wilayah sekitarnya seperti pantai Kore, Sanggar, sering terjadi peristiwa serangan bajak laut,” tulis I Made Geria.
Potensi Tambora yang kaya sumber daya alam dan signifikan dalam perdagangan juga tak luput dari penguasaan bangsa Belanda, dari awal abad ke-17 sampai awal abad ke-19.
“Pertimbangan Belanda untuk melakukan penguasaan terhadap kerajaan kecil karena dianggap lebih mudah ditundukkan sehingga potensi alam penyangga perdagangan Bima akan lebih mudah dikuasai,” tulis I Made Geria.
Ternyata, Tambora dan kerajaan lainnya tak mudah ditundukkan. Digunakanlah politik adu domba dengan Perjanjian Bongaya pada 18 November 1667. Isinya di antaranya, Kerajaan Gowa dilarang mengirim bantuan ke Bima dan diperintahkan untuk menangkap raja-raja di kerajaan kecil. Perintah itu tidak dilaksanakan oleh Kerajaan Gowa.
Namun, alam berkehendak lain. Tambora dan kerajaan lainnya mendapatkan pukulan dahsyat setelah Gunung Tambora meletus.
I Made Geria mengutip catatan residen Tobias yang mendata: sebelum letusan, Tambora berpenduduk sekira 40.000 jiwa pada 1808. Setelah letusan dahsyat itu, 30.000 jiwa lebih penduduk tewas. Pada 1816, sisa penduduk yang masih hidup tewas semua karena diterjang banjir bandang dan banjir lahar.
“Selanjutnya bekas Kerajaan Tambora yang sudah habis ditelan ganasnya alam tersebut digabungkan dengan wilayah Kerajaan Dompu,” catat I Made Geria.
Setelah bencana terjadi, Tambora tetap masyhur. Banyak pedagang datang untuk menukar dagangannya dengan barang berharga, sebagaimana dikisahkan syair Bo’ Sangaji Kai.
Penduduk kembali ramai meninggali kawasan Tambora pada 1907.
I Putu Yuda Haribuana, peneliti Balai Arkeologi Denpasar, menyebut ada peninggalan bangunan Belanda di sekitar situs Tambora, salah satunya bekas pabrik kopi.
Menurut I Made Geria, temuan berbagai artefak disertai rangka manusia juga komponen sisa bangunan membuktikan bahwa Situs Tambora telah dihuni oleh sekelompok masyarakat yang memiliki peradaban cukup tinggi, jauh sebelum letusan Tambora 1815.