Bola hangat soal mutasi dan promosi jabatan sedang ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Disini pejabat atau calon pejabat dihadapkan dengan perasaan deg degan, tapi ada juga yang menanggapi santai.
Memasuki tahun politik, mutasi berubah dari sekedar bola hangat menjelma menjadi bola panas. Sepanas apa bolanya?.
Siapa yang dikatrol, pejabat mana yang didepak dan diinjak, bahkan diamputasi tetap menjadi tema sentral perbincangan di sudut-sudut kota ketika bahas soal mutasi.
Kalau pejabat terdepak, diinjak, atau diamputasi, itu faktornya bisa karena adanya temuan dalam laporan hasil pemeriksaan atau akibat dendam politik soal dukung mendukung saat Pilkada. Tapi kalau ada yang diangkat apalagi disulap, kuat dugaan aroma skandal jual beli jabatan.
Nah, faktor yang terakhir ini menjadi malapetaka bagi birokrat dan birokrasi. Dampak terhadap birokrasi yaitu rusaknya sistem dan tatanan yang sudah dan sedang dibangun dan diperbaiki, sedangkan terhadap birokrat pasti akan melahirkan birokrat korup.
Operasi tangkap tangan yang sering dilakukan oleh lembaga anti rasuah (KPK) adalah fakta mencengangkan betapa potensi dan praktik busuk jual beli jabatan kerap dilakukan oleh kepala daerah. Lalu apa pemicu didagangkannya sebuah jabatan? jawabnya adalah ketika Pilkada, puluhan miliar duit digelontorkan oleh calon, uang mereka guyur ke masyarakat untuk membeli suara dimana mereka ‘memaksa’ rakyat dengan rupiah agar memilih mereka. Itulah praktek money politic, bukan cost politic yang kerap dijadikan dalil.
Benar saja pernyataan mantan Mendagri Tito Karnavian. Dalam suatu kesempatan dia menyebutkan bahwa jadi Bupati butuh Rp30 miliar.
Ia mengaku menerima informasi ongkos untuk maju menjadi kepala daerah setingkat bupati mencapai Rp30 miliar.
“Teman-teman menjadi bupati itu membutuhkan Rp20 sampai Rp30 miliar. Wali Kota pasti lebih lagi, bagaimana dengan gubernur,” ujar Tito dalam webinar, Sabtu (20/6/2020) lalu.
Banyak kepala daerah tersandung jual beli jabatan yang dibongkar KPK, sebut saja Bupati Pemalang, Jawa Tengah, Mukti Agung Wibowo, Bupati Klaten Sri Hartini, Bupati Nganjuk Taufiqurrahman dan Novi Rahman Hidayat, serta Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra. Dan ada yang masuk penjara.
Kembali bicara tentang mutasi, jelang pelantikan pejabat, ada ada saja celoteh bin nyeleneh muncul ditengah masyarakat, bahkan! bernada menuding.
Buah bibir mereka soal mutasi beraneka ragam, yang dibahas kadang berisi gosip, asumsi, tidak masuk akal, desas desus, fitnah, hoax. Tapi tidak sedikit memiliki nilai kebenaran.