Dompu (EDITOR I News) – Himpitan ekonomi dalam kehidupan menjadi masalah klasik bagi mereka yang tidak memiliki pekerjaan atau berpenghasilan rendah. Dan bahkan ada yang tidak memiliki pendapatan sama sekali, sehingga dihadapkan pada kehidupan yang sangat susah. Apalagi 3 tahun terakhir ekonomi Indonesia mengalami turbulensi akibat hantaman covid-19, kondisi ini makin memperparah kehidupan masyarakat.
Desakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga mau tidak mau harus dipenuhi, pilihan jalan keluarnya hanya ada dua cara yaitu bekerja secara halal atau mencari penghasilan dengan cara yang haram.
Cerita kali ini mengulas hal baru di Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, cara orang mencari nafkah. Kisah ini cermin kehidupan di kota besar yang kejam akibat problem ekonomi, tapi pelakunya bukan orang asli Dompu melainkan orang yang berhijrah.
Pengamen tangan kosong
Lelaki 40 tahun ini menyebut dirinya mengamen guna mengais rejeki, tapi uniknya mengamen tanpa alat musik. Profesi pengamen selama ini biasanya menggunakan gitar atau alat musik sejenis, tapi tidak bagi warga asal kampung Argawinangun ini.
Yono, adalah seorang kepala keluarga berasal dari Cirebon, Jawa Barat. Pria 40 tahun ini baru tiga hari beraksi di Dompu, lokasi persisnya di lampu merah Koramil Kota. “Saya gak bisa main gitar,” ujarnya singkat, Kamis (09/03/23).
Gambar membawa berkah
Dia bercerita, mengetahui bumi Nggahi Rawi Pahu berkat gambar di Peta Indonesia. Tiga hari yang lalu bisa sampai kesini dengan menumpang armada Bus Rasa Sayang. Dia tidak mempunyai sanak saudara disini.
Perjalan cukup panjang dan lama dari Cirebon ke Dompu. Untuk bisa menginjakkan kaki di Dompu harus menempuh jarak sejauh 1479 kilometer. Jika menggunakan kendaraan roda empat akan memakan waktu selama 2 hari – 2 malam. Jika berjalan kaki, maka waktu tempuhnya selama 265 jam atau sekitar 11 hari.
Hijrah untuk mewujudkan mimpi
Pengakuannya, dia anak satu-satunya, tidak memiliki saudara karena setelah ia lahir kedua orang tuanya bercerai.
Memiliki seorang istri dan dua orang anak laki-laki yang masih duduk di kelas 1 dan kelas 3. Keinginannya agar kedua buah hatinya bisa mewujudkan harapannya yang kandas. “Saya sudah berkeluarga dengan 2 anak laki-laki mas, mereka harus berhasil dengan pendidikan yang tinggi,” ujarnya pakai logat sunda.
Tamatan 2001 di SMP Negeri 3 Cirebon mengungkapkan kesedihannya saat terpaksa meninggalkan keluarganya karena merupakan tulang punggung keluarga. Sang anak hanya bisa menangis mengetahui bapaknya akan pergi, untuk mengelabui mereka terpaksa ditinggal secara diam-diam.